Langsung ke konten utama

Segenap Harapanku untuk Ibukota yang Baru



Bulan ini Indonesia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-74. Di umurnya yang sekarang ini, Indonesia tidak serta-merta terlepas dari berbagai macam isu dan permasalahan. Termasuk masalah kesenjangan dan daya dukung wilayah di Indonesia.

Akhir-akhir ini gaung rencana pemindahan Ibukota semakin lantang terdengar seiring dengan seringnya kunjungan kerja dari Bapak Presiden Joko Widodo untuk meninjau lokasi calon ibukota yang baru nanti. Ditambah lagi dengan semakin intensifnya Kementerian PPN/Bappenas mengadakan kajian dan seminar nasional yang berkaitan dengan rencana pemindahan ibukota ini.

Disini penulis sangat antusias mendengar gaung rencana tersebut. Semakin antusias semakin besar harapan mengenai ibukota yang baru nanti. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengutarakan beberapa harapan pribadi penulis kepada ibukota yang baru nanti.

Pertama, penulis berharap tujuan dari pemindahan ibukota ini dapat tercapai. Beranjak dari isu dan permasalahan kesenjangan antarwilayah di Indonesia, ibukota baru harus memberikan multiplier effect bagi wilayah di sekitarnya terutama untuk wilayah Indonesia Timur. Berdasarkan data BPS tahun 2018, pulau Jawa yang memiliki luas 6,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Nasional sebesar 58,4%. Berbanding terbalik dengan wilayah Indonesia Timur. Dengan luas wilayah yang mencapai 64% dari total luas wilayah Indonesia, wilayah Indonesia Timur hanya menyumbang 16,8% terhadap Produk Domestik Bruto Nasional. Sudah semestinya pembangunan ibukota baru kelak bisa mengganti stigma jawa sentris menjadi Indonesia sentris ketika pembangunan, pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi tidak hanya terpusat di pulau jawa tetapi dapat tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Pembangunan Ibukota Baru sebagai pusat pemerintahan saja tidaklah cukup. Pemisahan pusat bisnis dan pusat pemerintahan bukanlah hal yang efektif apabila diterapkan hari ini. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan tujuan pengurangan beban DKI Jakarta sebagai ibukota negara sekarang. Bolehlah kita berkaca pada Malaysia dengan pusat pemerintahan barunya di Putrajaya. Malaysia dapat sukses karena ibukota baru tersebut didukung oleh pusat-pusat yang lain di lembah Klang. Berbeda halnya apabila kita hanya memindahkan pusat pemerintahannya saja tanpa membuat pusat-pusat pendukung lainnya. Diperlukan pertimbangan untuk membuat pusat-pusat lain seperti pusat industri, komersial, pariwisata, kebudayaan dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai penyangga pusat pemerintahan kelak. Pembangunan pusat-pusat lain tersebut juga harus dilakukan secara serentak, terstruktur dan berkelanjutan sehingga pembangunan ibukota baru dapat benar-benar memberikan efek positif secara signifikan untuk wilayah di sekitarnya.

Kedua, penulis menginginkan konsep dari pengembangan ibukota ini haruslah berkelanjutan. Segenap permasalahan yang terjadi di Ibukota sekarang tidak boleh timbul pada ibukota baru yang akan datang. Tentu saja kita tidak ingin mendengar adanya kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan akut ibukota sekarang seperti pembatasan penggunaan kendaraan bermotor yang meliputi three in one atau ganjil-genap diberlakukan di ibukota yang baru nanti. Kita juga tidak ingin program normalisasi sungai, konflik pengelolaan sampah dan limbah, air bersih atau pun penggusuran kembali terjadi. Penulis tidak berharap bahwa kemudian pembangunan ibukota baru hanya dijadikan sebagai wadah masalah baru negara ini.

Mendengar desas-desus yang berkembang di masyarakat sekarang, ibukota baru ini nantinya akan mengusung konsep Forest City atau kota hutan. Tentu saja harapan penulis akan konsep kota ini sangatlah besar. Sesuai dengan lokasinya yang berada di pulau Kalimantan, konsep ini terbilang inovatif. Meskipun demikian, harapan penulis terhadap Forest City ini sama seperti harapan penulis terhadap Smart City. Sederhanya, penulis disini menjabarkan Smart City sebagai kota yang memungkinkan seorang karyawan yang kehilangan dompetnya dapat menemukan kembali dompetnya di kantor polisi terdekat dalam waktu yang singkat. Tentu saja dengan kondisi yang masih utuh. Smart City bagi penulis bukan hanya teknologi yang pintar tetapi baik sistem maupun penduduknya juga pintar. Begitu pula pandangan penulis terhadap Forest City ini nantinya. Penulis disini berimajinasi bahwa Forest City itu adalah dimana kita bisa melihat kawanan orang utan di habitat aslinya setiap hari hanya dengan menggunakan LRT dari pusat kota ke pinggiran kota selama 10 menit. Ataupun bagi kita yang tinggal disana kita bisa rindu dengan kemacetan ibukota atau bahkan suara klakson mobil yang biasa terdengar di pagi dan sore hari karena orang-orang sudah terbiasa berjalan kaki dan menggunakan transportasi publik. Sesederhana itulah harapan penulis terhadap konsep ibukota yang baru nanti.

Harapan penulis yang terakhir adalah pembangunan ibukota yang baru nanti haruslah berhasil. Penulis tidak ingin apabila ibukota baru kemudian terlihat tidak bernyawa seperti ibukota baru Myanmar, Naypyidaw yang sering dianggap kota hantu karena jumlah penduduknya yang tidak sebanding dengan luas wilayahnya. Ibukota baru ini haruslah memiliki daya tarik tersendiri sehingga bisa bersaing dengan ibukota lainnya di seluruh dunia. Barulah kemudian ibukota yang baru ini dapat menjadi contoh bagi pengembangan wilayah lain di Indonesia.

Sebagai penutup, perencanaan ibukota baru haruslah berkelanjutan dengan memperhitungkan segala aspek yang berkaitan. Diperlukan kerjasama dan dukungan antar-pihak baik pemerintah, akademisi maupun masyarakat untuk menciptakan, menjalankan serta mengawasi ibukota yang baru ini. Penulis berharap pemindahan Ibukota baru ini dapat segera terwujud dan segera memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan Bangsa dan Negara Indonesia sendiri. Merdeka!


#Bappenas
#IbuKotaBaru

Komentar