Langsung ke konten utama

Permasalahan wilayah perkotaan


Assalamualaikum Wr. Wb.

Pada postingan kali ini saya akan memaparkan beberapa pertanyaan dengan tema “Permasalahan perkotaan” beserta jawaban dari pertanyaan – pertanyaan tersebut. Sebelumnya , tujuan dari dibuatnya postingan ini adalah sebagai sarana untuk memperkaya wawasan kita sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota. Disini saya hanya akan menguraikan satu topic utama yaitu topik “kepadatan penduduk”. Saya memilih topic tersebut karena topic tersebut merupakan akar dari permasalahan kota yang terjadi saat ini.
Saat ini kepadatan penduduk di wilayah perkotaan lebih banyak menimbulkan masalah daripada keuntungan di wilayah perkotaan .
1.       Bagaimana kepadatan penduduk itu bermula menjadi masalah di wilayah perkotaan?
2.       Jelaskan solusi konkrit untuk menyelesaikan masalah tersebut !
Masalah pemukiman kumuh merupakan masalah yang berakar dari kepadatan penduduk itu sendiri.
3.       Mengapa solusi penuntasan wilayah kumuh di perkotaan terutama di wilayah Indonesia cenderung lambat ? dan jelaskan secara rinci tahapan tahapan masalah tersebut !
Tanpa kita sadari , kepadatan penduduk turut andil dalam memangkas lahan hijau di wilayah perkotaan.
4.       Jelaskan mengapa masyarakat tidak sepenuhnya cocok dengan hunian vertikal sebagai solusi untuk menghemat lahan di wilayah perkotaan?

Jawaban :

1.       Kepadatan penduduk ini bermula dari adanya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi karena munculnya pemikiran masyarakat di luar perkotaan yang menganggap bahwa terdapat besarnya peluang kerja di wilayah perkotaan. Tentu saja hal ini mendorong banyaknya orang untuk pindah ke wilayah perkotaan dengan tujuan tersebut. Proses ini biasa terjadi di musim musim perpindahan penduduk seperti pada saat musim lebaran atau libur panjang. Ironisnya tidak semua dari mereka memiliki keterampilan dan malah menambah jumlah pengangguran di wilayah perkotaan. Pada akhirnya mereka yang tidak punya pekerjaan ini tinggal di pinggiran kota atau mungkin di jalanan. Pada akhirnya sebagian dari mereka turut menambah permasalahan kota dengan menjadi pengemis , gelandangan atu bahkan copet. Semua itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah semata untuk mencari sambungan hidup. Tentu saja hal ini membuat kita kurang merasa nyaman sebagai masyarakat perkotaan.

2.     Solusi yang bisa diterpakan adalah dengan mengurangi jumlah pendatang baru . tentu saja harus ada koordinasi antara pemerintah kota dengan pemerintah daerah. Ada tiga opsi yang bisa diterapkan yaitu : 1. Daerah asal harus bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan . 2. Daerah asal harus bisa membuat pelatihan khusus apabila para pelamar belum memiliki keterampilan . 3. Apabila keterampilan tersebut merupakan keterampilan yang sulit diwujudkan di daerah asal, maka daerah asal bisa mengajukan pelatihan kepada daerah lain dengan syarat mereka yang diberi pelatihan akan kembali dan membangun daerah asalnya masing masing.
3.       Wilayah kumuh sendiri sebenarnya tidak berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya saja dari wilayah kumuh tersebut timbul masalah-masalah lain yang membuat wilayah kumuh tidak sesederhana yang diperkirakan. Sebagai contoh ketika ada program pemerintah berupa relokasi atau penataan wilayah kumuh,  terdapat beberapa bagian masyarakat yang merasa dirugikan . Mereka beranggapan bahwa wilayah kumuh tersebut sudah menjadi bagian dari  mereka . banyak dari mereka yang sudah menetap lama dan mempunyai pekerjaan tetap di wilayah tersebut. Justru dengan merelokasi mereka dari wilayah tersebut hanya akan membuat mereka menjadi kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sama seperti sebelumnya. Biarpun ada, mungkin tidak semenguntungkan sebelumnya. Belum lagi adanya oknum tertentu yang memanfaatkan hal tersebut untuk tujuan tujuan lain. seperti memanfaatkan relokasi sebagai upaya untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah dari pemerintah ataupun membuat citra pemerintah buruk dimata masyarakat. Biasanya hal itu biasa terjadi dikala musim politik. Sebagai contoh ketika ada penggusuran wilayah kumuh di bantaran sungai, warga yang terdampak merasa dirugikan meskipun diberi lahan yang lebih baik untuk tinggal seperti rusun dsb. Disitulah oknum bergerak memancing dengan kemasan menuntut keadilan pemerintah yang tidak pro masyarakat kelas bawah. Yang terjadi mereka menuntut penggantian rugi dari pemerintah untuk mereka. Padahal , wilayah tersebut merupakan wilayah bantaran sungai dan sangat langka masyarakat yang memiliki sertifikat tanah. Akhirnya terjadilah kerusuhan antara penegak hukum dengan masyarakat yang tidak rela wilayahnya digusur tadi. Ditambah dengan pengaruh media yang semakin menyoroti kasus tersebut sehingga memunculkan berbagai opini di masyarakat terhadap pemerintah. Walaupun keputusan pengadilan memutuskan bahwa pemerintah tidak bersalah, tidak adanya edukasi yang terkait dan sebagian dari masyarakat tersebut yang tidak mengenyam pendidikan membuat mereka mudah untuk dipengaruhi sebagaian pihak. Tujuan yang semula baik dari pemerintah menjadi citra yang buruk di masyarakat . Pada akhirnya, penataan kawasan kumuh menjadi lambat karena faktor kompleks tadi. Itulah mengapa sebagian masalah penataan pemukiman kumuh cenderung berjalan lambat.
4.       Hunian vertikal merupakan hunian yang secara fisik dirancang untuk menghemat lahan di wilayah perkotaan. Luas tanah yang diperlukan untuk membuat 400 unit rumah vertikal tentu saja jauh lebih sedikit dibandingkan dengan landed house. Tentu saja ada berbagai pertimbangan mengapa masyarakat lebih memilih landed house daripada hunian vertikal ditengah masalah keterbatasan lahan. Diantaranya :1) Hunian vertikal merupakan hunian yang terlihat mahal bagi sebagian masyarakat. Walaupun telah disediakan rusun bersubsidi , sebagian masyarakat enggan untuk memilih hunian vertikal. 2) hunian vertikal berbeda sertifikasi kepimilikannya dengan landed house. Hunian vertikal cenderung bersertifikasi Strata Title atau mungkin SHGB ( Sertifikat Hak Guna Bangunan ) sementara landed house biasanya SHM ( Sertifikat Hak Milik ). Bagi sebagian masyarakat tentu saja ada yang lebih memilih landed house . 3) Hunian vertikal membutuhkan biaya perawatan dan keseharian yang lebih tinggi. Tentu saja seperti tagihan air , listrik yang jauh lebih membengkak dari pada di landed house walaupun fasilitas yang tersedia lebih komplit karena sebagian masyarakat kurang begitu perhatian dengan fasilitas. Bagi mereka selama faktor-faktor utama dapat terpenuhi, factor pendukung dapat dikesampingan dengan alas an biaya tadi . Alasan-alasan tersebutlah yang membuat masyarakat tidak sepenuhnya cocok dengan hunian vertikal sebagai solusi untuk menghemat lahan di wilayah perkotaan.

Demikan beberapa pertanyaan dan jawaban dari saya . Semoga bisa menambah wawasan kita semua sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota . Akhir kata , saya ucapkan terima kasih dan Wassalamualaikum Wr. Wb.

Komentar